Itu adalah judul novel yang dikarang Asma Nadia. Seorang penulis muda yang cukup produktif menelurkan karya bergenre Islam pop. Seorang teman menghadiahi saya novel tersebut ketika saya terbaring di RS Sardjito beberapa tahun lalu. Saya tidak tahu pasti, niatan di balik pemberian novel itu apa. Yang jelas saya sangat suka dengan judul novel tersebut. Isinya, boleh juga. Cukup mampu menghibur saya yang sedang terbaring di RS waktu itu. Alurnya relative mudah ditebak. Sebenarnya saya lebih suka novel yang alurnya susah ditebak. Novel dengan alur yang susah ditebak memberi kita banyak kesempatan untuk terkejut-kejut dan tentu saja penasaran untuk terus membacanya. Novel jenis inipun juga membangkitkan selera untuk membacanya berulang-ulang tanpa rasa bosan.
Tapi di sini saya tak ingin mengajak Anda untuk membahas tentang berbagai jenis novel. Saya juga tak ingin menceritakan isi novel tersebut pada Anda sekalian. Saya hanya ingin berbagi dengan Anda, sahabat-sahabat kehidupan. Satu fragmen kehidupan yang baru saja saya nikmati. Life, tanpa sensor. Judulnya “Setitik Kabut Selaksa Cinta-nya Mbak Tri-Mas Joko”. Judulnya sengaja meminjam judul novelnya Mbak Asma Nadia (dengan sedikit sentuhan). Alasannya simple seeh. Begitu peristiwanya terjadi, saya langsung teringat judul novel tersebut. Anda penasaran…??? Yuk, kita nikmati bersama…..
Senja memerah di Pasar Milir, tempat aku turun dari bus jurusan Jogja-Wates. Genap dua minggu sudah tak ku jenguk desa dengan segala pernak-perniknya. Sejujurnya berat untuk pulang, seberat untuk tidak pulang. Nah, bingung kan? Alasannya adalah, kalau aku tidak pulang, kasihan Bapak dan Ibu yang merindukanku (ih, sok dirindukan. Narsis deh…). Kalau pulang, ada banyak pertanyaan yang harus kujawab. Dan jawabanku, aku tahu, akan mengecewakan mereka. Jadi begitulah, acara pulang menjadi acara yang rumit buatku (aku juga heran, kenapa aku membuatnya rumit ya. Mungkin karena aku suka novel yang rumit kali ya. Eh, nggak nyambung ya…Kalau dipikir-pikir, jalan hidupku memang relative berbeda dari saudara-saudaraku. Ribet kalau kata adikku. Entahlah…, yang jelas aku enjoy menjalaninya. Dan satu yang kuyakini, jika ingin mendapatkan hidup yang berkualitas, hidup yang di atas rata-rata, memang harus mau membayar harganya. That’s it.). Lho, kok malah jadi curhat. Kembali ke laptop, eh ke cerita.
Sambil menunggu adikku yang berjanji akan menjemput, iseng kuhitung jumlah burung gereja yang bertengger manis di kabel listrik. Jadi teringat burung-burung kecil di seputaran Titik 0 Jogjakarta. Senja mendung seperti ini biasanya mereka sudah bermanuver cantik di atas gedung bank BNI, kantor pos besar, dan tentu saja beringin besar istana mereka. Jangan bayangkan bisa menghitung jumlahnya. Ribuan bahkan mungkin puluhan ribu kali ya. Langit seperti tertutup gulungan hitam yang meliuk-liuk menarikan tarian mistis. Setiap kali melihat mereka, ku bayangkan aku sedang melihat burung-burung ababil yang dikirim Allah untuk menghancurkan pasukan Abrahah yang sedang menyerang ka’bah.
Saat anganku masih mengembara ke Jogja, tiba-tiba ada tangan yang menyentuh pundakku. “Nunggu jemputan ya”, sapa pemilik tangan. Ehm, ternyata aku mengenalinya. Mbak Tri namanya, tetanggaku yang menjadi guru di sebuah SMA di Wates. “Iya Mbak, adikku belum datang. Katanya 10 menit lagi baru bisa datang”, jawabku berbasa-basi. Sebenarnya aku lebih memilih meneruskan kembara anganku dari pada berbasa-basi untuk saat ini. Entah, biasanya aku yang cerewet tak bisa diam ketika dalam situasi seperti ini. Tapi begitu melihat rona yang membayang di wajah beliau, sontak kuberubah pikiran. Sepertinya ada yang perlu curhat nih. O la la, dan betul tebakanku saudara-saudara. Tak menunggu berapa lama, mengalirlah cerita beliau. Aku juga heran, kami kan jarang bertemu. Kenapa beliau bisa begitu saja percaya padaku ya. Atau jangan-jangan di jidatku ini sudah menempel emblem bertuliskan “Terima curhatan, kapanpun dan dimanapun. Free…”. Tapi tadi pagi saat aku berkaca aku yakin tidak melihatnya. Dan anehnya, peristiwa seperti ini bukan satu dua kali terjadi. Ya, kuanggap saja ini cara Tuhan mendidikku.
“Aku lagi bingung dengan suamiku, Dik”, Mbak Tri memulai cerita. Demi mendengar prolog ceritanya, aku langsung meringis. Heran, aku kan belum menikah. Kenapa juga orang-orang sudah bersuami itu lebih mempercayakan curhatnya pada orang yang belum punya pengalaman. Tapi nggak mungkin kan aku menyetop ceritanya dan memintanya curhat ke Ibu’ku misalnya. Sudahlah, kudengarkan saja ceritanya.
“Sudah satu bulan ini kami banyak berdiam diri. Ada yang salah kurasa. Mas Joko tak lagi seperti Mas Joko yang dulu kukenal. Mas Joko yang ulet, pantang menyerah dan bertanggung jawab. Padahal kami akan segera punya anak. Kewajiban mencari nafkah kan ada di pundak suami ya. Kalaupun istri bekerja, itu adalah sedekah dari sang istri. Iya kan, Dik”.
Hmm, kasus ini lagi. Kenapa ya beberapa waktu ini aku menemui kasus mirip-mirip seperti ini? Fenomena yang wajarkah? Aku baru saja akan membuka mulut menanggapi, tapi kuurungkan. Aku mau bicara apa? Pakai landasan apa? Lha beliau sudah lebih berpengalaman je. Aku, pertama belum menikah, kedua bukan lulusan psikologi. Ketiga , kalaupun aku punya ilmunya, aku tidak ingin menggurui. Lha wong beliau seorang guru. Jadi, kuputuskan untuk menjadi pendengar yang baik saja. Di salah satu buku yang kubaca mengatakan bahwa sebagian besar wanita yang curhat sebenarnya hanya ingin didengar saja. Memang tidak semuanya seperti itu. Ada sebagian kecil yang ketika curhat memang untuk mencari pemecahan atas permasalahan yang terjadi. Dan kalau kulihat, Mbak Tri dalam kasus ini sepertinya hanya butuh seorang teman yang mau mendengar keluh kesahnya. Terbukti, beliau meneruskan lagi ceritanya tanpa memintaku berpendapat.
“Sebenarnya aku ingin menyampaikan ketidaksukaanku ini pada Mas Joko. Tapi aku khawatir akan semakin menambah parah keadaan. Sejak aku diterima jadi PNS, sikapnya semakin aneh. Aku tahu, walaupun Mas Joko senang aku diterima jadi PNS, di sisi yang lain Mas Joko berat untuk menerimanya. Sepertinya Mas Joko semakin minder. Padahal aku sudah berusaha bersikap sewajarnya”.
“Lha kalau Mbak sendiri inginnya Mas Joko seperti apa, Mbak”, tanyaku memecah kebisuan yang tiba-tiba tercipta. “Aku tu maunya Mas Joko berbuat apa kek. Aku nggak menuntut banyak. Kalau untuk mencukupi kebutuhan, dari gaji sebenarnya sudah cukup. Toh kami belum membutuhkan dana besar untuk anak. Tapi paling tidak, aku juga pengen merasakan seperti wanita-wanita lain. Aku iri melihat kebahagiaan teman-temanku saat mereka menerima uang dari suaminya (aku juga… lho, emangnya aku sudah bersuami? Ngayal deh…). Ini lagi, katanya mau jemput jam lima. Ini sudah jam berapa? Jam enam kurang kan? (duh, kalau hati lagi panas, pemicu sekecil apapun sudah cukup untuk membakar hati ya)”.
Aku mencoba memberikan senyum yang paling meneduhkan. Berbicara sepertinya bukan pilihan tepat. Saat-saat jeda yang terasa panjang itulah tiba-tiba seorang laki-laki serasa pendekar datang menghampiri. Berselempang penyesalan, berpedang keikhlasan. Dengan sikap tawadhu tapi bukan tunduk, beliau meminta maaf. “Maaf Dik, tadi baru saja menyiapkan kandang. Hari ini aku resmi joinan dengan temanku. Kami bersepakat menghidupkan lagi peternakan ayam petelur yang dulu kami bangun”.
Kulihat Mbak Tri terperangah. Perlahan tapi pasti, kabut itu mulai memudar dari wajahnya. Berganti dengan binar yang sulit kulukiskan dengan kata-kata. Mbak Tri mendekatiku dan berbisik, “Dik, aku sudah mendapatkan jagoanku kembali. Ternyata aku yang kurang sabar mengikuti prosesnya. Terima kasih ya sudah mau mendengarku. Aku pulang dulu ya”. Senyum dan anggukanlah yang kuberikan sebagai jawaban. Karna aku tahu, Mbak Tri tak membutuhkan apapun lagi kini.
Ah, ternyata. Kabut itu hanya setitik. Tetap saja cinta mampu menemukan jalannya.
Add. Salam penghormatan untuk siapapun Anda yang telah memutuskan untuk berjuang, memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang Anda cintai.
Thursday, December 25, 2008
Setitik Kabut Selaksa Cinta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Itulah Mbak Onabunga, romantikanya hidup berumah tangga, ada karunia Allah berupa chemistry antara suami dan istri. Tapi kadang kita manusia tidak sabar, karena sifat kita yang sering tergesa-gesa...
ReplyDeleteiya Mbak. jadi banyak belajar neeh.
ReplyDeleteSaya juga suka novelnya asma nadia, cuma sekarang dah jarang beli dan baca bukunya. Banyak yg menginspirasi...
ReplyDeleteSalam Sukses
ARIEF MAULANA
MASTER ADSENSE - The Secret Ways To Play Google Adsense
sama2, makasih juga dah mampir k blog saya. mudah2an kita bisa berbagi ilmu
ReplyDeleteto Mas Arief
ReplyDeletegak nyangka njenengan suka novelnya asma nadia...... :)
to Mas Iqbal
yup, bersama kita bisa...(pinjam slogannya SBY)
Novel asma lah yg mengubah saya dari anak bengal menjadi anak yg mau mengubah dunia... hehehe...
ReplyDeletesalam sukses,
BLOG MOTIVASI ARIEF - Support Your Success
MASTER ADSENSE - The Secret Ways To Play Google Adsense
Salam kenal mbak, sering2 aja ya ngeluarin posting bersifat narasi (cerpen). Walau saya cowok, tapi suka sekali baca cerpen/novel, yaah sekedar selingan aja diantara sibuknya urusan dunia nyata.
ReplyDeleteMampir yah ke blog saya;
http://www.web-sumartono.blogspot.com
Mbak... ada reward yg wajib diterima...
ReplyDeletecek di cek di AWARD UNTUK MAS ARUTA
Saya tunggu lho...
Eh salah... maksud saya AWARD UNTUK MBAK ONABUNGA
ReplyDeleteMaaf Khilaf
Mbak... awardnya diposting di artikel ya!
ReplyDeleteSoalnya mbak kudu nerusin ke 10 blogger lainnya. Ini untuk mempererat tali silatuhrami antar blogger.
to Mas Arief
ReplyDeletehe.. gak nyangka. sudah tak isi tuh rewardnya. matur tengkyu lah...
to Mas Sumartono
salam kenal baik. terima kasih, jadi tambah semangat. segera meluncur ke sana.....
terima kasih sudah comment di blog saya....
ReplyDeleteblog ini eyeswatching, krem+kecoklatan warna kesukaann saya.... postingannya juga bagus; suka menulis cerpen?
aduh, jadi tersandung...(gubrak...)
ReplyDeleteterima kasih juga Mas. cerpen? beberapa tulisan cakar ayam saya memang dalam bentuk cerpen. maunya seeh buat novel. tapi sampai sekarang belum ada yang berhasil sampai finish... :)
Nona Bunga,
ReplyDeleteGaya bercerita bunga terlalu bergelombang. Saya sudah hanya mau denger cerita dengan serius, eh malah non bunga cerita yang lain. Tapi mantap kok gaya berceritanya. Tetap sukes yach.
Btw, Apakah Mas Joko di cerita Mbak sama dengan Mas Joko Susilo? Hahahahhaha
ReplyDeleteSatu kata. Mbak Bisa jadi Penulis Kaya. Coba kalau sudah banyak dirangkum dalam hardcopy. lalu minta izin penulisnya dan sodorkan kepada penerbit. Ini akan menjadi income pasif berkat keahlian Mbak Onabunga..
ReplyDeleteSalam,
Wawan Purnama
Penulis Blog
wah, saya sangat menghargai karya2 penulis muda, bahkan yang pemula sekalipun, semoga saja asma nadia makin kreatif, tak hanya melahirkan novel2 pop, ktapi juga mulai merambah ke novel sastra. met tahun baru, mbak lintang, semoga tahun depan menjadi lebih baik dari tahun ini.
ReplyDeleteto Kangabet
ReplyDeletematur tengkyu untuk kunjungan dan sarannya. hmm, ini yang saya perlukan..
bout tokoh, tentu saja bukan Mas. mana berani saya menokohkan Pak Joko. bisa kualat nanti. kecuali ada perintah dari beliau. he...........
to Mas Wawan
itu salah satu impian Mas. ini ceritanya dalam kerangka merangkai mimpi. minta izin ke penulis? maksudnya? lha yang nulis saya je Mas..
to Pak Sawali
semoga Pak. suatu saat nanti ada karya saya diantara sekian karya penulis muda yang lain...(lagi panas neeh. teman seangkatan belajar sudah menerbitkan tiga buku (angkat topi untuk Adib Bahari....)