Duduk di hadapanku, seorang ibu
Dengan wajah sendu, sendu kelabu
Penuh rasa haru dia menatapku
Penuh rasa haru dia menatapku
Seakan ingin memeluk diriku
Dia lalu bercerita tentang
Anak gadisnya yang tlah lama tiada
Karna sakit dan tak terobati
Yang wajahnya mirip denganku
Yang wajahnya mirip denganku…..
Lagu itu, yang entah dinyanyikan oleh siapa, terasa begitu pas dengan yang kualami. Ini bukan sekedar lagu. Tapi ini adalah kisah nyata yang kualami, karna tepat di hadapanku memang tengah duduk bersimpuh seorang ibu. Namanya Bu Prapto. Sudah sejak lama beliau mengamatiku, begitu beliau mengakui. Tapi beliau tak pernah punya keberanian untuk menemuiku. Dengan menahan sesak di dada, beliau memilih mengamatiku dari balik pagar. Padahal sebenarnya mudah bagi beliau untuk mendekatiku, karena pintu kantor selalu terbuka.
Akhirnya, satu waktu beliau tidak mampu menahan diri. Sambil menahan debaran di dada, beliau memberanikan diri untuk mendekatiku. “Jajanan Jeng, krupuk, gorengan….”, begitulah cara beliau mendekatiku. Bu Prapto adalah penjual gorengan keliling yang beroperasi di seputaran alun-alun utara. Sebenarnya aku awalnya tak begitu berminat. Tapi seperti biasa, aku selalu saja susah untuk mengatakan tidak. Kubayangkan beliau sejak pagi sudah susah payah memilih dagangan, tiba-tiba dengan mudahnya kukatakan tidak. Uh, tentu ini akan membuyarkan impian-impian kecil yang dibangunnya hari ini. Mungkin membelikan cucunya es krim, atau sekedar membelikan anak lelakinya makanan kesukaannya.
Membayangkan itu aku jadi tidak tega (Adikku selalu memprotes sikapku ini. “cepet abis duitnya kalau setiap ada yang meminta dikasih, setiap ada yang jualan dibeli”, begitu protesnya. He…., aku meyakini bahwa setiap orang sudah diatur rejekinya. Dan menurut hukum keseimbangan, semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita dapatkan. Bahkan menurut hukum sedekahnya Yusuf Mansyur, semakin banyak kita memberi, akan semakin bertambah banyak lagi yang akan kita terima. Jadi, kenapa harus pusing…He, kata temanku ini hanya apologiku saja karena belum berhasil menghilangkan kebiasaan “tidak bisa mengatakan tidak”).
Akhirnya kubeli seplastik penuh krupuk yang kata beliau rasanya maknyuss… plus beberapa gorengan. Ternyata memang benar, krupuk itu akhirnya menjadi krupuk favorit kami. Sebenarnya di luaran sana juga ada, tapi rasanya berbeda. Entah apa penyebabnya. Mungkin karena Bu Prapto menjualnya dengan cinta. Bukankah apapun yang dilakukan jika dilandasi dengan cinta akan berbuah kemukjizatan? Itu kata teman saya.
Berawal dari krupuk itulah akhirnya beliau sering datang. Biasanya dua hari sekali. Dan akhirnya meluncur jua cerita dari beliau, tentang putrinya yang telah meninggal dunia. Lulusan salah satu pesantren terkenal di Jogja. Bu Prapto menggantungkan banyak harapan dari putrinya tersebut. Karena dari sekian anaknya, putrinyalah yang paling pandai dan paling tahu bagaimana memperlakukan orang tua. Sayangnya, putri beliau tak berumur panjang. Dia sakit tanpa terketahui jenis penyakitnya. Dokter di RS tempat dia sempat dirawat angkat tangan dan menyarankan untuk dibawa pulang saja. Ada yang bilang dia diguna-guna oleh orang yang sakit hati karena ditolak cintanya. Entahlah, sampai sekarang Bu Prapto tidak tahu. Yang jelas beliau begitu terpukul ketika putrinya meninggal.
“Dia sangat baik Jeng. Kata orang cantik juga. Walaupun tetap lebih cantik njenengan (ku tersandung….gubrak….). padahal ketika itu hampir menikah. Begitu lulus disunting santri sana juga. Sampai sekarang calon suaminya masih baik pada Ibu. Sayang dia sudah menikah. Kalau belum mau saya kenalkan dengan njenengan. Dia belum lama nikahnya. Baru 3 bulan yang lalu. Katanya sulit melupakan anak saya..( he..kalau belum jodoh, tetep aja kelewat..ups, kok jadi ngarep…). Tapi saya akan mendoakan njenengan, biar dapat yang lebih bagus (amieeen…Bu…)”.
“Saya sudah menganggap njenengan sebagai pengganti anak saya. Setiap kali melihat sosok njenengan, saya seperti melihat sosok anak saya. Saya pasti berdoa yang terbaik”, begitu tutur Bu Prapto sambil menyeka air matanya. Saya, yang memang mudah menangis, tentu saja mengikuti tanpa dikomando. Ini bukan cengeng lho ya, tapi gembeng. Cengeng itu rapuh. Kalau gembeng itu dia menangis karena memang harus menangis. Dia tau kapan harus menangis dan kenapa harus menangis. Itu kata Kang Arief, salah satu kakang saya (Jadi ingat dulu. Satu ketika kang Arief datang ke kos saya dalam keadaan basah kuyup. Saat itu hujan deras. Petir menyambar-nyambar di seputaran UGM. Setelah saya buatkan secangkir Nescafe, beliau kemudian cerita. “Sebenarnya aku cuma mau nganter ini. Beliau mengulurkan sebuah stiker bertuliskan “Gembeng” di sana. Tadi ada penjual stiker ikut berteduh di emperan JS. Dia manawari aku stiker. Sebenarnya aku tidak tertarik. Tapi tadi aku melihat stiker ini dan langsung inget kamu. Makanya aku beli. Biar bisa mengingatkan terus. Aku kan tidak tau sampai kapan bisa menemanimu. Ingat, jangan cengeng. Aku tidak punya adik cengeng”. Tau, seketika mataku terasa panas sekali. Tetes air mataku mengiringi tetes hujan yang justru semakin deras. Kang Arief memang salah satu kakang terbaik yang pernah kumiliki. Stiker “gembeng”nya masih setia menempel di kaca hiasku Kang….)
Bu Prapto. Dua tahun waktu yang dibutuhkan beliau untuk bangkit dari keterpurukan. Akhirnya beliau memutuskan untuk berjualan keliling di Alun-alun Utara Jogjakarta. Beliau bilang ini dilakukannya untuk menjauh dari makam putrinya. Sebab, jika tetap di kampungnya di Gunungkidul, beliau selalu tak bisa menahan diri untuk tidak mendekati makam putrinya.
Namanya Bu Prapto. Umurnya sudah mendekati 70 tahun. Tapi beliau masih saja setia menyusuri seputaran Alun-alun Utara untuk mempertahankan hidup. Suaminya sudah meninggal. Putrinya sudah meninggal. Anak laki-lakinya (si sulung) belum bisa diandalkan. “Dia masih harus belajar hidup, Jeng”, begitu tutur beliau. Maka tak ada pilihan. Tenggok besar berisi jajanan itulah yang jadi penopang hidupnya. Dan atas nama kemanusiaan, setia jualah aku menunggunya. Membawakan krupuk dan apel hijau pesenanku. Memang, aku akhirnya mengakali beliau. Kupesan apel hijau sebagai pengganti gorengan. karena aku juga tak mau mengorban tubuhku atas nama kemanusiaan. Toh kalau aku sakit, tak kan ada lagi yang menunggu Bu Prapto di pojok Alun-alun Utara ini kan? Dan bos kecil tak kan bisa bilang, “tu mbokmu dah datang…”.
Bu Prapto, salam penghormatan kusampaikan untukmu Ibu. Semoga di Hari Ibu ini, ada banyak keajaiban yang datang. Sehingga masa tua yang semestinya bisa lebih ramah terasakan bisa Ibu nikmati.
Jangan tanya kapan, tapi keajaiban akan datang menghampiri orang yang selalu melakukan yang terbaik, buat dirinya sendiri maupun orang lain…(Helen Keller)
Monday, December 22, 2008
Wanita-wanita Perkasa : Bu Prapto, Penjual Gorengan Keliling
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
bos kecil? hahahaha....
ReplyDeleteSeharusnya upacara di kantor pagi tadi diselingi cerita Mbak ya..
ReplyDeleteJangan tanya kapan, tapi keajaiban akan datang menghampiri orang yang selalu melakukan yang terbaik, buat dirinya sendiri maupun orang lain…(Helen Keller)
Insyaallah kalimat itu benar adanya..rezeki akanmengikuti dari yang kita tanam..
Terus menulis Mbak..
Silahkan sharing pengalaman menulis Mbak di blog saya. Setiap tips menarik dari Mbak akan sangat membantu saya atau teman2 yang haus informasi tulis menulis..
wah, kalau ndak salah itu lagu yang dulu dinynayikan oleh jane sahilatua, mbak lintang, hehehe ... lagunya memang enak didengar dg lirik2nya yang tajam menggores nurani *halah* wah, itulah potret perempuan perkasa sebagaimana yang pernah diilustrasikan oleh hartoyo andangjaya, *kalau ndak salah* sang penyair itu dalam "perempuan2 perkasa"
ReplyDeletembak, saya tunggu neh naskah buku nya.. nanti saya bantu terbitkan...
ReplyDeletekebetulan saya juga makelar penerbit hahaha.. komisi kecil kok, cuma 25% wakakaka
to Mas Yainal
ReplyDeletetersanjung sekali njenengan mau mampir. bos kecil? itu kan panggilan kesayangan Bos kuswadi. saya mah ngikut aja...
to Mas Wawan
he...boleh. kemarin mau meluncur ke sana benarnya. tapi adzan dah berkumandang. ya nggak jadi deh.. Insya Allah segera.
to Pak Sawali
o...lagunya Jane Sahilatua to Pak. saya nyari penyanyinya dah lama. padahal liriknya hafal luar kepala. betul, liriknya tajam menggores nurani..
to Mas Hengky
wow....saya nggak ngimpi tho Mas..??? ku tersandung...(gubrak............). tapi tunggu ja. sedang merintis ke sana... :)
tetap suuuuuumangat!! ... lanjut, mampir mbak, saya juga punya tulisan, boleh dilihat di http://kliksumberuang.blogspot.com/
ReplyDeleteperempuan punya nama lain: perkasa, pemberani, penyabar, pejuang....dan sederet lain yang bahkan oleh dunia atau dirinya sendiri tak pernah disadari...
ReplyDeleteiya to mbak?
to Mas Endro
ReplyDeleteterima kasih sudah mampir. tunggu ampiran balik saya. tetep suemangat juga deh..
to Mbak Icha
waduh, mimpi apa semalam ya. diampiri blogger terkenal yang blognya dinominasikan sebagai blog terbaik dalam pesta blogger... thanx Mbak...
sepakat.... tul 100%. makanya perlu ada yang sok nyentil seperti ini. kalau bukan kita, siapa lagi. ya kan Mbak..
semoga yang terbaik yan tuhan berikan pada bu prapto, amin.
ReplyDeleteamien Mas Iqbal. terima kasih sudah mampir ke sini. Insya Allah mampir ke pameran deh..
ReplyDeleteorang seperti bu prapto itu mungkin terlihat hidupnya sengsara, menderita. kita pasti kepikiran...kasihan sekali orang-orang seperti bu prapto. tapi orang-orang seperti mereka perlu ada untuk cermin bagi kita bagaimana mereka punya kekuatan untuk hidup yang begitu besar, mampu menjalani beratnya hidup demi orang-orang tersayang...makasi mbak, makasih bu prapto.
ReplyDeletekunjungan balik mbak...makasih sudah mampir ke blog saya.
Weleh-weleh... rame tho... tambah seeph ae...
ReplyDeleteInilah dunia. Lebih sering ngga adilnya. Tapi apa boleh buat, sang Sutradara yg lebih berkehendak. YG bisa dilakukan hanya sabar dan mengikuti permainanNya sembari berdoa dan berharap datang kehidupan yg lebih baik...
This story have many inspiration.
Keep Post...
BLOG MOTIVASI ARIEF - Support Your Success
Salam kenal kembali Mbak...ganti saya yang mampir. Content blog-nya bagus sekali...
ReplyDeleteKesulitan Mbak mengeksekusi ide menjadi tulisan malah membuat tulisan Mbak Onabunga menjadi sangat indah.
to Mas GeRrilyawan
ReplyDeletehe..thanx dah bergerilya sampai sini
to Mas Arief
hmm, seorang teman pernah berkata : kita tidak bisa menentukan akan mati seperti apa, kecuali sudah merencanakan untuk bunuh diri. tapi kita bisa menentukan akan hidup seperti apa. akhirnya kembali lagi pada pilihan kita. walau tetap pemutus akhr ada di tangan-Nya. ya nggak seeh..
to Mbak Yanti
he...matur tengkyu Mba. masih harus terus berbenah kok..