Sunday, January 23, 2011

Hujan, Perih dan Mimpi

Hujan deras. Air seperti ditumpahkan dari langit. Dari balik jendela kunikmati irama magis air menyentuh bumi. Dawainya menyenandungkan lagu sedih. Tapi apakah benar suara hujan adalah suara perih? Entahlah. Yang jelas itu yang kurasakan saat ini. Hujan adalah dawai kesedihan.

Tapi banyak teman yang mengatakan bahwa hujan menyimpan harapan. Ah, aku sedang tidak ingin memperdebatkan hal itu. Mungkin karena aku telah terpengaruh. Terhisap dalam pusaran pedih cerita. Cerita tentang perihnya hidup. Tentang cinta, ikatan, dan kepercayaan. Dan wanita di hadapanku masih terus bertutur tentang perih. Deras air matanya seperti ingin mengalahkan deras hujan di luar sana. Aku merasa lelah untuk mengundang senyum. Kemanakah dia......?
Selengkapnya...

Saturday, June 19, 2010

Lelaki Fajar

Lelaki Fajar. Bibirnya menderas mantra dzikir tak putus-putus selepas rakaat terakhir shalat malamnya. Sejenak ia akan berhenti, merebahkan tubuh kukuhnya di atas sajadah sambil menunggu adzan subuh berkumandang. Ritual ini dimulainya sejak tabuh dua dinihari, tepat ketika para peronda menabuh kentongan untuk terakhir kalinya. Suara-suara malam pelan mendendangkan bait terakhir nyanyiannya. Sebentar lagi riuh suara pagi akan mengganti.

Lelaki Fajar. Matanya mengerjap ketika sentuhan tangan menepuk pundaknya, lembut. Ah ya, ini adalah tangan yang begitu dikenalnya. Tangan seorang wanita yang begitu setia menemaninya mengarungi hidup, hampir setengah abad ini. Bau khas asap dapur tercium. Pertanda istrinya sudah memulai rutinitas pagi di dapur mereka. Pasti karena kayu-kayu bakar yang belum kering benar itu menyusahkannya. Meski ada kompor gas, tetap saja istrinya memilih memasak menggunakan kayu. Anak-anaknyalah yang lebih sering memanfaatkan kompor gas. Kayu masih banyak di sini. Sayang kalau tidak dimanfaatkan. Begitu alasan istrinya.

Selengkapnya...

Tuesday, June 15, 2010

Wisata Hati, Antara “Berjanjen” dan “Pelesir”

Bip...bip...bip....ponselku berbunyi. Tanda sms masuk. Hmm, dari Ibundaku.

“Nduk, malem Jum’at balik ya. Ngomah berjanjen...”

Berjanjen? Oh ya, ini kan malam Jum’at Kliwon. Memang di setiap malam Jum’at Kliwon tempatku selalu mengadakan “Berjanjen”. Membaca sebagian isi dari Kitab Al Barzanji. Cara membacanya cukup unik, karena harus dengan dilagukan. Dan seperti apa lagu yang digunakan, biasanya diserahkan pada pemimpin acara tersebut. Dan bisa dipastikan para pemimpinnya adalah para tetua agama di sana. Yang lain tinggal mengikuti.
Selengkapnya...

Monday, May 10, 2010

Hadiah Aneh Pagi Hari : “Kartika” vs “You’re Still The One”

Bus Sumber Alam pagi hari. Alhamdulillah, ada tempat duduk kosong di depan. Dua pengamen nampak menghibur penumpang. Lagu Mahadewi-nya Padi mengalun indah di telingaku. Ah ya, mereka dua musisi jalanan yang berkarakter. Mereka bernyanyi tak hanya asal bernyanyi. Penghayatan dan teknik vokalnya bagus menurutku. Halah, kok malah ngikut-ngikut Agnes ngritisi para Idol.

Satu lagu berakhir. Mase pengamen menyebut lagunya Kla, “Terpuruk Ku Di Sini” sebagai lagu kedua. Aha, salah satu lagu yang kusuka dari Kla. Tapi kenapa lama sekali tak segera dimulai. Sejenak kutolehkan kepala, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Nampak mase pengamen sedang berbicara dengan seorang bertopi. Tak jelas wajahnya. Yang kulihat hanya mase pengamen yang mengangguk-anggukkan kepala. Ah, sudahlah, bukan urusanku juga. Akhirnya aku memilih untuk menikmati pemandangan di depanku. Mobil, motor, bus dan truk yang saling kejar.

Selengkapnya...

Monday, March 22, 2010

Wanita-wanita Perkasa in Action : Belajar Bisnis di Pondok Cabe

Pondok Cabe di remang senja. Warna keperakan mulai menghiasi langit. Ini adalah senja yang indah. Siapapun pasti menyepakati ini. Tapi benarkah ini adalah sesuatu yang perlu disepakati? Bukankah senja yang indah bukanlah kasus Bank Century yang perlu dicari kesepakatannya seperti apa yang dilakukan oleh para anggota dewan itu? Ah, tentu saja tidak. Untuk mengatakan bahwa ini adalah senja yang indah kita tak perlu menonton pertengkaran para politisi itu. Cukup tengok langit, edarkan pandangan ke sekelilingmu, dan engkau akan menemukan alasan yang lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa ini adalah senja yang indah.

Jadi, bukankah ini senja yang indah? Yup, senja yang indah di kota yang indah. Dan semestinya semua terlihat indah. Tapi sebentar… apakah setitik air mata juga termasuk dalam kategori sesuatu yang indah? Karna lihatlah. Di sudut ruangan ini, ada titik air mata yang menitik pelan dari sepasang mata yang meredup. Sepasang mata milik seorang gadis yang duduk mencangkung di meja paling sudut. Dari tempatnya duduk dia bisa dengan leluasa mengamati pergerakan rumah makan ini. Dan dari tempatnya pula ia dengan leluasa menyembunyikan titik air mata dari orang-orang yang ingin menikmati senja indah di Pondok Cabe ini. Hmm, bukankah ini adalah ketrampilan yang sangat elok?

Selengkapnya...

Saturday, February 20, 2010

Kelelawar Kecil di Bawah Jendela

Kelelawar kecil di bawah jendela.
Tubuhnya rapuh, mencericit pilu menyayat kalbu.

“Kenapa kau bisa terperangkap di sini? Apa kau terjatuh saat terbang bersama indukmu? Ini bukan tempat yang aman untukmu. Ada tikus besar yang sering berkeliaran. Sstt, dia bukan tikus biasa. Karena tak hanya sisa makanan yang dia makan. Apapun yang disukainya akan dia makan. Bahkan jika itu adalah kamu. Paman Kucing bersuara besar juga sering menyatroni tempat ini. Jadi, bisakah kau cepat pergi?”

(Dan kau, kau juga harus segera melepaskan diri dari penjara itu. Aku takut….. Kulihat mata-mata penuh dendam di penjara itu. Berjanjilah untuk berusaha pergi dari sana. Berusahalah sekuat tenaga….)

Selengkapnya...

Tuesday, February 2, 2010

Mendung, Matahari dan Sekaten

Mendung malam ini. Beberapa waktu ini mendung dan hujan memang mewarnai Jogja. Menyenangkan, karena itu berarti debu kemarau tak akan menyapa dalam beberapa waktu. Hmm, bagi sebagian tempat yang berdekatan dengan lapangan terbuka, debu musim kemarau menjadi momok tersendiri. Termasuk di wilayah seputaran Alun-Alun Utara Jogja. Bisa membayangkan, serbuan debu bergulung-gulung terseret angin seumpama gerak cepat barikade pasukan berkuda menyerbu musuhnya? Yang jelas cukup untuk membuat kita harus rela membersihkan berkali-kali ruangan yang terkena terjangannya.

Itu belum seberapa. Sempat hampir jatuh korban. Ceritanya ada pengendara sepeda motor yang melintas tepat ketika sang angin beraksi dengan tarian mistisnya. Celakanya, si pengendara sepeda motor malah takjub melihat aksi sang angin. Mungkin dia tidak pernah melihat gulungan debu yang berputar memilin naik ke atas dan dengan cepat meluncur ke samping membawa apapun yang tergulung bersamanya. Plastic, kertas dan berbagai benda ringan lainnya. Untung saja, meski terlambat pengendara sepeda motor itu masih sempat menguasai sepeda motornya yang sempat oleng. Jika tidak, seorang tukang becak pasti menjadi korbannya.

Jadi, musim penghujan yang menjelang adalah berita baik bagi saya dan warga seputaran Alun-Alun Utara lainnya. Meski untuk itu, saya harus menyiapkan diri untuk terbiasa melihat kilat dan gemuruh guruh menyapa alam (sttt… sejak kecil saya memang takut dengan dua tanda alam itu. Kata Ibu’, dulu waktu bayi saya sempat terjatuh karena kaget mendengar gelegar guruh dan petir yang menyambar pohon dekat rumah. Uh, sampai sekarang masih saja kerepotan menenangkan diri ketika dua tanda alam itu menyapa. Kalau dulu waktu kecil ada Bapak yang selalu mendekap saya. Lha sekarang sudah segedhe ini, mosok harus berlari ke Bapak. Akhirnya saya memilih untuk bersedekap dan komat-kamit baca doa. Tapi karena cara ini saya sering diledek teman-teman. Seperti dukun saja. Komat-kamit baca mantera nggak jelas. Biarlah, peduli amat. Toh mereka tidak ikut merasakan deg-deg serrrnya jantung dalam kondisi seperti itu).

Tapi ternyata, tak semua orang di seputaran Alun-Alun Utara senang dengan datangnya hujan. Ada sebagian orang yang merasa benar-benar terganggu. Yup, mereka yang nampak dalam foto adalah bagian dari kelompok tersebut. Mereka yang mengais rejeki dari gawe tahunan “Grebeg Mulud Sekaten Jogja”. Wajar saja, mereka telah rela meninggalkan keluarga nun jauh di sana demi mengais rejeki di perhelatan tahunan ini. Mereka bahkan rela tidur beralas terpal dan bernaung rimbun beringin. Jika hujan datang, pupus sudah harap yang disemai bersama cerah sapa matahari pagi.

Hmm, memang akhir-akhir ini mendung dan hujanlah yang banyak menghiasi wajah Jogja. Maka ketika matahari muncul, senyumpun mengembang di wajah-wajah penuh harap itu. Apalagi ketika matahari dengan dukungan semesta menampakkan sinarnya full. Harapan membuncah memenuhi setiap sudut Alun-Alun Utara. Dan meskipun saya cukup menikmati adem suasana Jogja saat mendung dan hujan, ada doa yang terlantun mengiring buncah harap mereka. Semoga tetap terbukakan pintu rizkinya saat mendung dan hujanlah yang banyak menyapa Jogja.

Mendung dan hujan. Menurut saya peran besar matahari justru nampak nyata ketika langit tersapu mendung dan hujan perlahan menetes turun ke bumi. Bahkan ketika mendungpun, matahari tetap mampu menunjukkan peran besarnya. Memberikan sinarnya kepada semesta, sehingga semesta kita ini tetap terang benderang. Dan kita, makhluk bumi, mampu melakukan aktivitas untuk menjalani tugas hidup yang telah disampurkan ke masing-masing kita.

Jadi, sebenarnya ketika mendungpun tak ada yang meragukan peran besar matahari. Yup, dengan segala peran besarnya, matahari selalu dibutuhkan oleh semesta ini. Meski saat mendung sekalipun. See……….


* Menanti matahari ufuk timur menjelang bersama datangnya fajar.........




Selengkapnya...