Tuesday, June 15, 2010

Wisata Hati, Antara “Berjanjen” dan “Pelesir”

Bip...bip...bip....ponselku berbunyi. Tanda sms masuk. Hmm, dari Ibundaku.

“Nduk, malem Jum’at balik ya. Ngomah berjanjen...”

Berjanjen? Oh ya, ini kan malam Jum’at Kliwon. Memang di setiap malam Jum’at Kliwon tempatku selalu mengadakan “Berjanjen”. Membaca sebagian isi dari Kitab Al Barzanji. Cara membacanya cukup unik, karena harus dengan dilagukan. Dan seperti apa lagu yang digunakan, biasanya diserahkan pada pemimpin acara tersebut. Dan bisa dipastikan para pemimpinnya adalah para tetua agama di sana. Yang lain tinggal mengikuti.


Tradisi Berjanjen di tempatku merupakan sebuah metode yang dipilih oleh para tetua agama untuk mendekatkan masyarakat pada agamanya. Dulu tempatku dikenal sebagai daerah yang “menyeramkan”. Gelap, baik secara fisik maupun psikis. Listrik belum masuk. Manusia dan “non manusia” bersanding dalam satu tempat. Tak usah heran, karena setiap tempat adalah tempat wingit, bahkan jika itu adalah rumah. Makanya kita harus hati-hati betul. Terkadang dalam satu waktu kita bisa bertemu dengan orang yang sama di tempat yang berlainan. Mana yang asli juga nggak ketahuan. Ribet kan?


Secara psikis juga tak kalah gelapnya. Molimo masih banyak yang mempraktikkan. Belum lagi ilmu hitam yang turut mewarnai jagad kehidupan kami. Untuk nyari uang, nyari jodoh, bahkan di pertandingan bolapun ikut beraksi. Pencurian marak, mulai dari ayam sampai sapi. Weleh-weleh bener dah...

Berlatar kondisi yang semrawut inilah akhirnya yang memaksa beberapa pemuda yang sudah bersentuhan dengan pesantren cukup intensif turun tangan. Mengambil pilihan yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mencanangkan perang terhadap kegelapan dan memperjuangkan hadirnya cahaya. Dengan berbagai cara. Dan salah satu metode yang dirasa mudah diterima masyarakat adalah “Berjanjen”.

Nah, dari sekian pemuda itu, Bapak dan Ibu’ adalah salah duanya. Jadi sangatlah wajar kalau akhirnya rumah menjadi salah satu pusat kegiatan. Makanya settingan rumahku adalah rumah terbuka yang membolehkan siapa saja masuk ke sana. Tentu saja dengan tetap menyisakan ruang-ruang tertentu untuk keluarga saja (perjanjian tak tertulis yang begitu saja difahami oleh masyarakat. Hehe...).

Kembali ke ‘Berjanjen”. Pada akhirnya Berjanjen menjadi metode yang paling mudah diterima oleh masyarakat. Bahkan sempat menjadi primadona. Metode ini disukai oleh semua kalangan. Dari anak-anak sampai orang tua. Terutama oleh para remaja. Karena di acara inilah mereka bisa membuktikan eksistensi diri. Mampu menghafal lagunya adalah poin plus. Mampu menghafal liriknya yang seabrek adalah poin plus-plus. Makanya para gadis dan jejaka biasanya berlomba-lomba untuk bisa menguasainya. Modal besar tuh untuk curi perhatian.

Tapi ada satu bagian yang paling prestisius dibanding sekian nilai plus tadi. Saat “Berjanjen”, pada beberapa bagian ada yang tidak dilagukan. Untuk membacanya biasanya dipercayakan pada orang yang sudah dianggap “bisa” membaca Al Qur’an. Karena di bagian ini cara membacanya harus seperti membaca Al Qur’an. Dan yang menentukan siapa yang ketiban sampur untuk membaca adalah para tetua. Bagi siapapun yang dipilih, itu adalah prestise tersendiri. Pengakuan atas kemampuan dia di hadapan sekian banyak orang, lintas usia. Apalagi jika suaranya merdu. Sudahlah, paket utuh untuk jadi bintang.

Dulu ketika beberapa teman kuajak ke rumah, mereka sempat mempertanyakan. Kenapa pilihannya “Berjanjen”. Apalagi pengajian yang disampaikan setelah itu melulu tentang surga dan neraka. Tentang ancaman dan hukuman. Maka ketika itu kusitirlah jawaban dari Bapak. Bahwa bahasa seperti itulah yang difahami oleh masyarakat. Jika kamu mau masuk dan mengubah satu masyarakat, harus bisa memahami mereka dulu. Tak semua orang bisa disentuh dengan sentuhan yang halus. Terkadang ancaman lebih mengena bagi mereka.

Dan kupikir pilihan yang diambil mereka itu adalah pilihan yang bijak. Terbukti sekarang ini desaku menjadi desa yang cukup “hijau” dan “terang”. Banyak yang dulunya belum shalat sekarang sudah shalat. Bapak-bapak yang dulunya sama sekali tak bisa membaca Al Qur’an dan malu untuk belajar, sekarang mereka sudah begitu pede untuk menjadi imam. Jika dulu menang judi menjadi kebanggaan, sekarang ketahuan judi menjadi hal yang memalukan. Bahkan sampai pola komunikasi antar keluarga juga berubah. Lebih santun terasa.

Hmm, bukankah satu proses memang harus melewati tahapan-tahapannya kawan?
Sayangnya tradisi Berjanjen sekarang sudah mulai surut. Bukan di frekuensinya. Lebih di jumlah orangnya. Dan bisa ditebak, penyusutan terbesar ya di kalangan anak-anak, remaja dan pemuda. Kalau dulu untuk mengumpulkan 50 orang sangat mudah. Menjelang aku kuliah jumlah itu masih bisa dipertahankan. Sekarang, mentok di angka 20-an.

Ah ya, mungkin sudah saatnya memikirkan metode lain yang lebih efektif. Metode yang lebih bisa diterima untuk saat ini. Karena tantangannya pun sekarang sudah berbeda. Jadi teringat perbincangan dengan salah satu teman beberapa hari yang lalu. Di komunitas beliau, liburan menjadi salah satu metode yang cukup ampuh untuk kaderisasi. Dan saat beliau dengan mata berbinar menceritakan “liburannya” dengan teman se-komunitas beberapa waktu lalu, akupun dengan senang hati mencerap energi positifnya. Sambil menerawang ke masa-masa beberapa tahun berselang. Saat metode serupa kuterapkan bersama beberapa rekan di sebuah organisasi di kampus.
Untuk mencairkan komunikasi yang seringkali macet, kami memilih menggunakan metode “pelesir”. Pada awalnya bidangku memang dianggap bidang yang nyleneh. Aneh. Anomali. Dan rawan. Sangat rawan. Dengan virus merah jambu katanya. Karena interaksi kami yang dianggap cair, ditambah kebiasaan “jalan-jalan” kami. Namun karena kami berhasil memberi bukti (dan bukan janji), akhirnya restu kami dapatkan juga.

Seiring waktu virus “pelesir” menyebar di semua bidang. Maka kami menjadi “sangat sibuk” mencari alasan untuk “pelesir”. Untuk evaluasi lah, untuk menghilangkan stress, untuk hadiah pasca keberhasilan satu kegiatan, menghadiri undangan pernikahan salah satu diantara kami, menghadiri pernikahan kakak angkatan, program kunjungan mendadak, menghadiri undangan lembaga lain dll. Pada akhirnya kami menjadi begitu kreatif menemukan alasan untuk “pelesir”. Halah...

“Pelesir” ala kami sangat “menyenangkan”. Bagaimana tidak, debaran jantung berpacu mengiringi adrenalin yang meningkat menjadi ciri khas perjalanan. Bisa dibayangkanlah, mahasiswa-mahasiswa berkantong cekak tapi keinginan segunung untuk menjelajahi tempat-tempat yang “menggoda”. Berbekal uang bantingan (rata-rata di bawah 50ribu), “pelesir “ pun jadi. Biasanya teman-teman yang berpunya rela menyumbang lebih untuk menutup kekurangan.

Jika jarak dekat kami mengandalkan mobil perjuangan milik tiga teman untuk ngangkut bahan makanan plus para ibu-ibu. Dilengkapi serombongan kuda besi yang tentu saja juga kuda besi perjuangan untuk mengangkut para bapaknya. Kalau jarak jauh, ya plus rental mobil (tanpa supir) jadi andalan. Karena kami sudah punya barisan sopir yang siap tanpa bayar. Cukup menyediakan “doping” saja. Dan tentu saja kami sudah punya tim yang bertugas mencari rental yang super murah. Hehe....

Maka pantai Laut Selatan baik yang bernama maupun tak bernama di sepanjang wilayah DIY plus pegunungannya menjadi saksi “kegilaan” kami. Itu baru awalnya. Selanjutnya “pelesir” memperluas jangkauan mulai dari ujung barat Jakarta sampai ujung timur Jawa Timur. Tetap memakai mobil perjuangan plus rute-rute yang menantang. Acapkali kami harus bertaruh nyawa dengan medan yang dipilih. Tapi justru di situlah letak nilai plusnya. Selalu ada kisah mendebarkan di setiap “pelesir” yang dilakukan.

Maka terkisahlah tujuh jurus menyetir ala kami saat harus menaklukkan jalanan Gunung Kidul dengan mobil perjuangan kami. Juga pawai mobil antik tanpa kaca depan di jalanan sepanjang Jawa Timur-Jogja (haha..kaca depannya rontok oiy. Untung pas pulangnya..). Kisah Gunung Bromo pindah (xixixi, lagi-lagi karena mobilnya nggak kuku...). Kisah ban mobil yang meluncur bebas ke areal persawahan tanpa disadari oleh para penumpangnya. Kisah mogok kehabisan bensin tepat di pertengahan jalur alternatif yang suepinya minta ampun karena telah melewati tengah malam (gara-gara banyak kesasar untuk menemukan “jalan yang benar”. Serasa seperti perjalanan mencari kitab suci saja. Panjang dan tak berujung. Keluar dari satu “kengerian” masuk ke “kengerian” berikutnya. Hwualah, maunya nrabas jalan biar cepet ternyata jadi cepet beneran. Cepet tersasar maksudnya. Mana jalannya naik turun bukit berhias jurang di kiri kanannya pula. Apik, apik...). Kisah mogok pas di depan kuburan tua padahal di jalanan turun (meh mlorot.hiiiii..). Kisah mogok pas sebelum jembatan Bantar (lagi-lagi tengah malam. untung ada koneksi. Haha..., akhirnya nginep di Rumah Dinas Bupati KP. Tidur jejer-jejer di ranjang putih-putih. Plek, sesuai “penglihatan” Kang Arif. Bedanya, Kang Arif nyangkanya kami di RS. Alhamdulillah...tak sejauh itu). Dan bertabur kisah yang lain yang tentu saja kebanyakan konyol. Hehe.....

Tapi justru di situlah kami merajut cerita. Berbagi tawa, canda, sekaligus pembelajaran nyata. Bagaimana menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul di sepanjang perjalanannya. Dan justru di situlah pembelajaran sebenarnya terjadi. Karakter kita jelas terbaca ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang harus diselesaikan cepat. Saat itu juga. Maka akan terlihatlah mana guru sejati dan mana yang hanya berlandas teori. Mana penyuka “pelesir” sejati mana yang ikut karena gengsi.

Nah, karena “pelesir” selalu menciptakan ruang tak terbatas untuk berkreasi, maka kami menyadari “para penggagas” harus senantiasa ada. Untuk menjaga agar kreasi yang tercipta tak menjadi terlampau bebas tak terkendali. Juga untuk menjaga niatan awal “pelesir”. Bahwa “pelesir” yang dilakukan bukan hanya sekedar “pelesir”. Tapi ada misi yang membingkainya.

Jadi, setelah cerita panjang kali lebar kali tinggi tentang “berjanjen” dan “pelesir” atau “liburan” atau jalan-jalan”, adakah hubungan antara keduanya anak-anak...? Hmm, memang tak ada hubungan kekerabatan seeh. Bagiku dua-duanya adalah salah dua dari sekian banyak metode yang bisa kita gunakan dalam sebuah proses pembelajaran. Selebihnya, dua-duanya juga merupakan cara yang bisa digunakan untuk wisata hati. Karena hati juga butuh berwisata...

  • Jadi, kalau ditanya “apa kau tak menyukai “jalan-jalan”? Sungguh, aku akan menjawabnya dengan tegas. “Justru sebaliknya. Aku sangat suka.”
  • Rindu untuk “pelesir” lagi. Rindu dengan ribet persiapannya, rindu dengan “kejutan-kejutan” indah di tengahnya. Kapan ya.....
  • Sangat menunggu saatnya tiba. Saat bisa dengan seenaknya menentukan kapan dan kemana mau pelesir. Hmm, menunggu alasan yang “tepat”. Hehe.....
  • Mobil-mobil perjuangan, apa nasibmu kini...
  • Selamat untuk siapa saja yang berhasil membaca tulisan ini sampai selesai. Empat jempol untuk njenengan deh. Karena ini adalah Edisi spesial “berbagi”. Mengurangi penuh yang menyesak di hati. Halah....

No comments:

Post a Comment