Saturday, June 19, 2010

Lelaki Fajar

Lelaki Fajar. Bibirnya menderas mantra dzikir tak putus-putus selepas rakaat terakhir shalat malamnya. Sejenak ia akan berhenti, merebahkan tubuh kukuhnya di atas sajadah sambil menunggu adzan subuh berkumandang. Ritual ini dimulainya sejak tabuh dua dinihari, tepat ketika para peronda menabuh kentongan untuk terakhir kalinya. Suara-suara malam pelan mendendangkan bait terakhir nyanyiannya. Sebentar lagi riuh suara pagi akan mengganti.

Lelaki Fajar. Matanya mengerjap ketika sentuhan tangan menepuk pundaknya, lembut. Ah ya, ini adalah tangan yang begitu dikenalnya. Tangan seorang wanita yang begitu setia menemaninya mengarungi hidup, hampir setengah abad ini. Bau khas asap dapur tercium. Pertanda istrinya sudah memulai rutinitas pagi di dapur mereka. Pasti karena kayu-kayu bakar yang belum kering benar itu menyusahkannya. Meski ada kompor gas, tetap saja istrinya memilih memasak menggunakan kayu. Anak-anaknyalah yang lebih sering memanfaatkan kompor gas. Kayu masih banyak di sini. Sayang kalau tidak dimanfaatkan. Begitu alasan istrinya.


Lelaki Fajar beranjak, merapikan sarungnya sebelum keluar dari Langgar. Adzan subuh telah berkumandang, memaksa mata-mata yang masih rapat mengerjap. Kakinya melangkah pasti menuju rumah. Memeriksa, adakah anaknya yang masih rapat berkemul. Ternyata anak dan cucunya telah pindah di depan TV. Menunggu kumandang adzan di salah satu channel TV swasta. Cucunya yang baru berumur 1 tahun itu memang senang sekali melihat kumandang adzan di sana . Saat adzan berkumandang, ia akan duduk tepat di depan TV. Tertawa-tawa senang sambil melambai-lambaikan tangannya. Terus seperti itu sampai adzan selesai. Dan tak mau diganggu. Lelaki Fajar tersenyum melihat itu. Maka langkah kakinya tegap sekarang. Menuju jamban tempat berwudlu. Fajar telah berganti pagi. Saatnya memulai hari.

Lelaki Fajar. Selepas shalat subuh diraihnya AL Qur’an. Membacanya dalam lantunan syahdu. Saat matahari telah menampakkan diri , barulah ia menyudahi. Ini menyalahi kebiasaan. Biasanya selepas subuh ia akan menggantikan anak-anaknya menunggui cucunya. Dan saat hari mulai terang membawa cucunya tersebut jalan-jalan. Karena cucunya sangat menyukai suasana pagi hari. Cericit burung, kotek ayam, lenguhan sapi, bahkan lambaian pucuk pohon jati. Jadi, ada apakah gerangan? Saat hal itu kutanyakan padanya, ia hanya tersenyum. Ketika kudesak, barulah ia memberi penjelasan.

“Ada yang mau mengusik keluargaku. Aku tidak tahu dari mana. Karena rasanya asing.”

Lelaki Fajar. Ia memang memiliki mekanisme sendiri untuk melindungi keluarganya. Mekanisme yang hanya mampu difahami jika kita menggunakan mata hati. Dan terbukti, keluarganya dikenal sebagai keluarga yang relatif tentram dibanding keluarga yang lainnya. Masalah tetap ada, sewajarnya manusia hidup. Tapi siapapun akan mengatakan bahwa keluarga ini adalah keluarga yang tentram.

“ Kenapa, apa Bapak baru saja membantu orang?”

Penasaran aku mencecarnya. Seringkali masalah seperti ini muncul ketika ia baru saja membantu orang, menyelesaikan masalah mereka. Apapun itu. Terkadang masalah remeh temeh, tapi seringkali masalah yang cukup pelik. Entah cekcok antar keluarga, rebutan warisan, mau hajatan, kegiatan desa, pengajian masjid dll.

Lelaki Fajar. Sebenarnya ia bukanlah termasuk jajaran perangkat desa. Tapi entah kenapa masyarakat percaya begitu saja untuk menyerahkan permasalahan mereka padanya. Mungkin karena ketegasannya terhadap sesuatu. Mungkin karena keberaniannya, pengalamannya. Atau kecerdikannya. Ia memang dikenal selalu punya cara untuk menyelesaikan sesuatu. Mungkin karena kemampuannya mengambil hati. Nggak tua, nggak muda, nggak anak kecil, ibu-ibu, bapak-bapak menyukai gayanya, celetukan-celetukannya yang seringkali membuat segar suasana. Padahal pembawaannya terlihat serius sebenarnya. Mungkin juga karena ketakpamrihannya. Ia tak pernah menuntut balas dari apa yang diberikannya.

Dampaknya, seringkali waktunya tersita untuk membantu orang lain, untuk masyarakat. Dan lagi-lagi ia tak pernah mempermasalahkan itu. Anak-anaknya lah yang merasa terganggu dengan itu. Sering mereka menyampaikan protes, tentu saja melalui istrinya. Ah ya, ia memang tak begitu mampu menjalin komunikasi dengan anak-anaknya. Dulu anak-anaknya belum bisa memahami apa yang dilakukannya. Pilihan-pilihannya. Dan itu membuatnya agak jauh dari anak-anaknya. Meski saat ini semua telah berubah. Waktu telah menjelaskan semua. Tentu saja, peran besar istrinya ada di balik semua itu.

“Sungguh, aku adalah laki-laki yang sangat beruntung mempunyai istri seperti dia. Karena dia, aku bisa dengan tenang menjalankan peran-peranku di keluarga ini maupun di masyarakat. Dia yang selalu meneguhkanku. Menutup lemahku. Menambah kurangku. Dia berdoa tanpa kuminta. Dia yang membereskan urusan-urusan yang muncul akibat dari peranku. Dia yang menjembatani aku dengan anak-anak. Dia berhasil menempatkan aku sebagai sosok bapak di mata anak-anakku.”

“Dia yang mendidik anak-anakku dengan ilmu agama dan moral, sehingga anak-anakku bisa menjadi manusia yang mampu melindungi dirinya sendiri. Menjadi manusia yang tahu untuk apa ia hidup di dunia ini. Mendidik anak-anakku mengenal Tuhannya bahkan sejak mereka belum melihat dunia. Ia kenalkan Al Qur’an sejak mereka bahkan belum bisa membaca. Aku selalu suka saat mendengarnya bersenandung shalawat untuk menidurkan anak-anakku. Saat melihat anak-anak berkerumun mengelilingi waktu ia mendongengkan kisah para Nabi.”

“Dia memang luar biasa. Dia mampu membuat aku bangga menjadi suaminya. Padahal dengan pekerjaannya, pendidikannya, kemampuannya, kedudukannya, jaringannya, dia mampu melakukan banyak hal lebih dari aku. Tapi dia selalu menempatkanku di posisi sebagai imam. Dia tahu kapan harus maju, kapan harus di samping dan kapan harus mendukung di belakang.”

“Kau tahu, dia selalu bisa menciptakan keajaiban-keajaiban di rumah kami. Itu terlihat sekali saat anak-anak sakit. Sentuhannya adalah obat penenang yang mujarab. Ya...ya seperti itu istriku. Aku benar-benar tak salah pilih. Andai dulu kuperturutkan nafsu, mungkin tak kan kudapat keluarga seperti ini. Dulu, yang mau menikah denganku banyak. Lebih cantik ada. Anaknya juragan juga ada. Anak pegawai ada. Tapi aku memilih wanita sederhana itu. Yang dulu terlihat begitu tawadhu dengan kerudung sampirnya. Dia memang bidadari.”

Lelaki Fajar. Matanya begitu berbinar saat menceritakan tentang istrinya. Cinta itu terlihat nyata, meski diungkapkan dengan cara yang sederhana. Ya, dia memang bukan laki-laki yang mudah untuk mengatakan cinta. Bahkan mungkin tidak pernah. Tapi deras cintanya mengalir, menjadi energi yang menggerakkan setiap jiwa di rumah itu.

Lelaki Fajar. Ketika akhirnya ia bisa menemukan apa yang mengancam keluarganya, menjelma ia seumpama Bratasena saat menyelamatkan keluarganya dari kobaran api Bale Sigala-gala. Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala pun dilakukannya. Ya, karena ia tahu. Sejak janji agung terucapkan, sejatinya ia telah meletakkan tanggung jawab itu di pundaknya.

Lelaki Fajar. Perjalanannya belum selesai. Masih ada beberapa tugas yang harus diselesaikan. Sebelum sang waktu tak berfihak lagi padanya. Tapi paling tidak ia sudah tak khawatir lagi. Karena landas yang kokoh telah ia bangun untuk keluarganya. Ia yakin, apapun takdir yang telah digariskan untuk anak-anaknya, mereka akan mampu melewati itu dengan baik.

Lelaki Fajar. Memerah matanya berkaca-kaca saat istrinya membacakan sms dari satu anaknya. “Ibu’, Bapak, nyuwun do’anipun. Kulo mangke jam 15.30 siaran wonten RRI Pro 4. Relay nasional.” Matanya menerawang. Setiap mengingat anaknya yang satu ini, ia selalu teringat istrinya saat muda. Karakternya, sepak terjangnya, banyak kemiripan diantara mereka berdua. Meskipun istrinya juga selalu mengatakan, banyak dari dirinya yang masuk ke anak itu. Saat senyum bangga menghias wajahnya yang tak lagi kencang, akupun tersenyum bangga untuknya. Sangat Bangga. Dan dengan sangat bangga kuumumkan pada dunia, AKU BANGGA MENJADI ANAKNYA.

  • Salam Penghormatan untukmu Bapak. Terima kasih untuk menjadi Bapak yang Hebat untuk kami. Terima kasih untuk memilihkan Ibu terbaik untuk kami. Terima kasih untuk mengasuh, mendidik, membesarkan kami dengan cara yang luar biasa. Terima kasih untuk membuatkan “rumah” yang nyaman untuk kami tinggali. Untuk kami kembali saat lelah menggayuti kaki kami. Terima kasih untuk apapun yang kau lakukan untuk kami. Terima kasih....
  • Selamat untukmu wahai semua Ayah dan calon Ayah di dunia ini. Semoga semakin arif dan waskita dalam memimpin keluarga kecilmu. Dalam membuat pilihan-pilihan untuk keluarga kecilmu. Karena hitam putih keluargamu, engkaulah yang akan dimintai pertanggungjawabannya....

2 comments:

  1. salam hormat...

    dari lelaki dinihari yang begadang terus karena tuntutan hidup.

    ReplyDelete
  2. salam hormat untukmu juga Mase Gerrilyawan. senang menerima kunjungan njenengan. saya yakin, anak njenengan satu saat nanti akan mengatakan hal yang sama, "Aku Bangga Menjadi Anakmu, Ayah...". turut berdoa untuk itu...

    ReplyDelete