Saturday, February 7, 2009

Mengubah Indonesia dari Pojok Angkringan

Angkringan Ngisor Ringin di rembang senja. Kang Paidi, juragan angkringan sibuk menyiapkan dagangan. Terlihat tiga orang pembeli dengan setia menunggu Kang Paidi selesai beres-beres. Siapa mereka, tentu saja Gombloh, Joko dan Glundung. Mereka adalah pembeli setia Kang Paidi. Gombloh juru parkir, Joko sang office boy di sebuah perusahaan periklanan, dan Glundung pekerja di pabrik furniture.

“Masih lama, Kang? Aku haus tenan. Dari tadi disuruh Bos kesana kemari,” Glundung melongokkan kepala ke seberang meja. Kang Paidi sedang menjerang air.

“Sebentar Ndung. Ini sudah mendidih kok,” jawab Kang Paidi kalem.

“Yo sabar to Ndung, lha kamu kan datang belakangan tadi. Aku dulu yang dibuatin yo Kang,” Gombloh tidak mau kalah.

“Wis, nggak usah rebutan. Kalian ini seperti partai yang sedang rebutan massa saja. Semuanya ngakunya nomor satu. Nanti kalau ada pembagian kuasa mintanya juga dijatah nomor satu. Giliran disambati rakyatnya larinya juga nomor satu. Uuuh..,” Joko yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara panjang lebar. Glundung dan Gombloh bengong melihat Joko.

“Kamu kenapa Jok, nggak ada angin nggak ada hujan kok marah-marah. Wuih, panas tenan,” Gombloh menempelkan tangannya di dahi Joko.

“Gimana nggak panas, tadi barusan aku ketiban bendera parpol di jalan. Untung nggak jatuh,” sungut Joko.

“Hahaha, kamu ketiban sampur itu namanya. Wis, dimaklumi saja. Mereka itu kan sedang berusaha sebaik mungkin agar dikenal orang. Ngomong-ngomong besok kamu mau milih nggak Jok. Apa mutung karena ketiban bendera parpol,” giliran Glundung yang menggoda Joko.

“Maunya aku nggak usah milih. Bukan karena mutung ketiban bendera tadi, tapi aku sudah bosan dengan janji-janji manis parpol. Tapi MUI katanya sudah memfatwakan haram kalau golput. Lha gimana dong?”

“Iya, kalau golput berarti kamu tidak membantu negeri ini. Kamu kan hidup di Indonesia tho? Kalau bukan kita yang membantu negeri kita sendiri terus siapa?” kata Gombloh sok bijak.

“Weh, kamu bisa bicara seperti itu nyontek darimana Mbloh? Apa di MLM-mu juga diajarin kata-kata seperti itu?” Glundung menggoda Gombloh. Beberapa waktu ini Gombloh memang bergabung dengan sebuah perusahaan MLM. Sejak itu Gombloh mengalami peningkatan dalam berbicara.

“Alah, kamu iri tho. Ngaku aja. Aku gabung di MLM untuk mengubah hidupku. Biar tidak menambah beban pemerintah. Kata up line-ku, jumlah penduduk miskin Indonesia itu banyak sekali. Jutaan. Nah, salah satu cara membantu negeri ini adalah mengurangi jumlah orang miskin yang semestinya menjadi tanggungan pemerintah. Paling tidak kita sendiri jangan sampai menjadi bagian dari mereka. Makanya kita harus berjuang untuk menjadi kaya. Begitu Ndung,” Gombloh menjelaskan berapi-api.

“Iya Mbloh. Kata Mas Bosku juga seperti itu. Makanya sekarang aku sedang belajar sama Mas Bos bagaimana caranya aku bisa pinter dan menghasilkan banyak uang. Aku kemarin diajari nyari duit lewat internet,” Joko juga tidak mau kalah.

“Lha iso po? Pantesan kamu jadi keranjingan ke warnet. Tapi beneran nggak itu. kalau MLM-e Gombloh aku sudah diajak ketemu sama up line-nya. Aku sudah ngerti cara sama itung-itungannya kenapa bisa mendapatkan uang di sana. Tapi aku nggak punya waktu kalau disuruh mengerjakan seperti itu.”

“Halah, kamu itu sok sibuk tenan. Bener kok. Mas Bosku kemarin cerita dia mendapatkan banyak pelanggan itu dari internet. Mas Bos juga cerita kalau teman-temannya banyak yang sukses dan mensukseskan orang lain dari internet juga.”

“Yang paling aku seneng ketika Mas Bos cerita tentang temannya, namanya Mas Agus. Dia mempromosikan pariwisata Jogja lewat internet. Kalau nggak salah nama tokonya di internet itu yogyes.com. Dan ternyata dia sukses. Banyak sekali yang terbantu. Pemerintah, karyawan-karyawannya, keluarganya, pedagang pasar Malioboro, pedagang Alun-alun Utara, tukang-tukang becak, sopir angkutan, sopir taksi, hotel dan seluruh karyawannya, bahkan tukang ngamen dan tukang copet juga. Lha itu mulia banget tho,” Joko semakin bersemangat cerita.

“Lho, kok semua disebut. Ngarang kamu itu,” sanggah Glundung tidak percaya.

“Dibilangin malah ngeyel. Bahkan bosmu itu juga termasuk yang terbantu. Bosnya Gombloh juga. Termasuk Kang Paidi juga. Lha banyak orang setelah melihat yogyes.com trus jadi tertarik. Terus mereka datang berkunjung ke sini. Termasuk bule-bule itu. Lha wong tokonya itu bisa dilihat sampai luar negeri sana,” Joko meneruskan penjelasannya.

“Makanya aku juga mau belajar. Aku kan juga mau menyelamatkan negeriku. Mas bosku sudah janji mau membantuku kok. Nah, Gombloh mau membantu negeri ini lewat MLM-nya. Aku mau meneruskan jejak Mas bosku dan Mas Agus. Lha kalau kamu mau lewat apa Ndung,” Joko balik bertanya yang membuat Glundung tampak bingung.

“Ndung, bosmu kan sedang ndaftar jadi caleg. Berarti nggak ada waktu ngurusi bisnisnya tho. Sudah, kamu embat saja,” ujar Gombloh memanas-manasi Glundung.

“Embat, embat, emangnya tempe gorengnya Kang Paidi po. Yo aku sebenarnya juga sedang belajar sama bosku juga. Bagaimana caranya mencari order, menangani order, sampai mengirim barang ke pemesan. Kalau untuk membuat barangnya aku wis canggih. Lha wong aku wis diangkat jadi supervisor je,” Glundung menyeruput teh panas yang baru saja disodorkan Kang Paidi.

“Sebenarnya aku juga pengen mendirikan usaha sendiri. Tapi aku masih takut. Aku bisa membuat produknya. Aku juga sudah tahu kemana harus mencari bahan bakunya. Bahkan supplier bahan bakunya Bosku sudah bilang kalau aku mau mendirikan sendiri, dia akan membantuku. Tapi aku takut tidak bisa memasarkan.”

Hening sejenak. Gombloh dan Joko bingung harus berkata apa. Tiba-tiba Joko menjentikkan jarinya.

“Ndung, aku ada ide. Bagaimana kalau produkmu diiklankan lewat internet saja. Nanti biar aku yang ngurusin. Aku kan sudah bisa membuat blog. Nanti aku akan minta Mas Bos ngajari bagaimana caranya menampilkan produk-produkmu di blog.”

“O iya, bosku kan juga memasarkan produknya juga lewat internet. Tapi Mbak Fitri yang ngurusin, jadi aku nggak tahu bagaimana caranya. Wah, boleh Jok. Kamu memang best friend tenan,” Glundung bersemangat mendengar tawaran Joko.

“Nah, Gombloh, Joko dan kamu Ndung, semua sudah ketemu bagaimana mau membantu negeri ini. Lha kalau aku terus bagaimana?” Kang Paidi yang sedari tadi diam mendengarkan perbincangan tiga sekawan itu angkat suara. Tiga sekawan saling pandang satu dengan yang lain. Gombloh-lah yang kemudian angkat bicara dengan gayanya yang sok bijak.

“Kang, dengan tetap berjualan di sini berarti Njenengan sudah membantu menyelamatkan negeri ini. Kang Paidi kan menyelamatkan orang-orang kelaparan seperti kami. lha kalau kami kenyang kan kami bisa bekerja. Berjuang menyelamatkan negeri ini. Apalagi kalau Kang Paidi tidak ikut-ikutan menaikkan harga. Wah, benar-benar menyelamatkan kami itu. Begitu tho kawan-kawan?”

“Uh, dasar. Bilang saja kalau nggak mau kunaikkan harganya. Pake bawa-bawa menyelamatkan negeri segala. Tapi tak pikir-pikir benar juga kalian. Daripada pusing memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan negeri ini, mending kita bekerja sebaik-baiknya. Lha aku bisanya ngangkring ya ngangkring tho,” Kang Paidi menyerah tapi tak kalah.

“Betul Kang, tapi kita perlu kreatif biar ada peningkatan hidup. Kemarin di internet aku sempat melihat ada angkringan yang dilengkapi dengan fasilitas internet gratis. Bahkan mereka juga punya blog untuk menjaga hubungan dengan konsumen lama dan menjaring konsumen baru. Kalau nggak salah namanya wetiga.com. Nah, Kang Paidi bisa melakukan hal yang sama atau bahkan lebih,” Joko membuat Kang Paidi terbakar.

“Weh, iya tho Jok. Lha mbok kamu membantuku. Biar bisa seperti mereka. Nanti setiap kamu ke sini minumnya tak gratisin wis. Lha aku kan ndak ada duit untuk mbayar kamu,” Kang Paidi mencoba merayu Joko. Yang dirayu senyum-senyum nggak jelas. Karena semakin nggak jelas, Gombloh dan Glundung pun bersepakat menjewer kuping Joko. Gombloh kuping kiri, Glundung kuping kanan. Alhasil Joko mengganti senyumnya dengan jeritan panjang. Dan tawapun meledak dari Angkringan Ngisor Ringin.

Senja makin merah. Perlahan namun pasti mentari menyusup ke dekap malam. Namun dia telah menjadi saksi atas mimpi-mimpi indah empat orang di angkringan ngisor ringin, pojok alun-alun utara. Dia berjanji esok hari akan membangunkan mereka dengan sinar paling lembut. Mengiringi langkah-langkah mereka untuk mewujudkan mimpi mulia. Mengubah cerita kehidupan mereka. Mengubah cerita tentang Indonesia.

* Selarik rindu untuk Kang Paidi. Asli, kurindukan sensasi kemepyar teh jahenya. Pindah kemanakah Njenengan?
* Gambar diambil dari sini

Selengkapnya...

Sunday, February 1, 2009

Dian Sastro for President ?


Genderang perang pemilu sudah ditabuh jauh-jauh hari. Adu strategi antar capres tak terelakkan lagi. Saya dalam peperangan ini memilih menjadi penonton saja. Lha mau ikut jadi pemain nggak punya bekal …

Ada yang menarik dari proses ini menurut saya. Munculnya tokoh-tokoh muda menjadikan proses ini terasa segar. Strategi-strategi kreatif bin unik dalam mengenalkan diri dan menjaring simpati pun bermunculan. Perang antar capres bukan lagi sekedar perang content. Perang ini sudah melebar ke adu kreatifitas antar tim kreatif masing-masing capres. Dan saya sebagai penonton tentu saja menikmatinya.

Salah satu cara kreatif yang digunakan oleh para capres adalah memanfaatkan media online untuk mempertajam gerak mereka. Ambil contoh, lomba blog “Aku untuk Negeriku” yang digelar oleh Bugiakso. Terlepas dari mengaku tidaknya beliau atas niatan di balik lomba ini, nuansa kepentingan politik ini kental terasa.

Saya sebetulnya tidak terlalu peduli dengan niatan di balik gelaran lomba itu. Apapun niatannya, yang jelas Bugiakso sudah memberikan apresiasi besar untuk dunia perbloggingan. Nah, tak ada salahnya kan kalau kita membalas apresiasi tersebut. Atau kalaupun niatnya bukan untuk membalas apresiasi, ada hadiah menarik yang bisa dijadikan sebagai niatan. Saya kira Netbook, HP 3G, dan kamera digital adalah hadiah yang lumayan menarik. Plus, Anda bisa memberi sumbang ide untuk Kang Bugi cs. Tentang langkah-langkah inspiratif yang bisa Anda lakukan sebagai anak negeri untuk Indonesia. Eits, jangan tuduh saya sebagai tim iklannya Kang Bugi ya….

By the way, cara yang dilakukan Kang Bugi ini mengingatkan saya pada fase kampanye Obama dulu. Pertanyaannya adalah mampukah tim kreatif Bugiakso menyamakan jejak dengan tim kreatif Obama? Kita lihat saja ke depan, ide kreatif apalagi yang bisa disuguhkan pada kita.

Berbincang tentang Kang Bugi dan capres lain, saya jadi teringat pada Mbakyu Dian Sastro. Beberapa tahun yang lalu saya menerima hadiah sebuah buku antologi puisi berjudul “Dian Sastro fo President”. Buku itu saya terima dari teman seperjuangan yang kebetulan salah satu puisinya nangkring di chart ke-entah di buku tersebut. Pihak penerbit memberinya dua buku sebagai imbalan. Dan saya ketiban hadiah itu karena saya dinobatkannya sebagai teman paling cerewet dan paling bawel se-Indonesia raya.

Tidak ada puisi tentang Dian Sastro di buku tersebut. Yang jelas terasa adalah nuansa kental kegerahan atas apa yang terjadi di republik ini dan dunia secara umum. Kegerahan yang bermuara pada harapan untuk munculnya kehidupan yang lebih ramah.

Mungkin muncul pertanyaan di benak Anda, kenapa Dian Sastro dijadikan sebagai icon perlawanan? Saya juga tidak tahu pasti. Tapi menurut saya Mbakyu saya yang cantek luar biasa itu memang pantas dijadikan sebagai icon. Kepiawaiannya bermain lakon tak perlu diragukan lagi. Dia berhasil mengharmonisasikan seluruh potensi dirinya menjadi sajian indah dan bernyawa. Melihat Dian bermain film tak hanya melihat seorang Dian Sastro yang menjadi sosok lain karena menghafal teks cerita dan gerak tubuh. Kecerdasan, kecantikan, dan seluruh potensi manusia yang lain lebur di sana.

Dan ternyata bukan hanya saya yang mengakui potensi Mbakyu Dian. Lenovo, pemimpin global dalam pasar PC (personal computer) juga mengakui kapasitasnya. Mbakyu Dian dipilih sebagai pembawa obor dari Indonesia untuk berpartipasi dalam Beijing 2008 Olympic Torch Relay. Mbakyu Dian dipilih karena kemampuannya sebagai seorang duta, membawa kebudayaan dan film Indonesia ke Asia Pasific sekaligus meningkatkan kesadaran dan pengetahuan akan kreatifitas dan kesenian Indonesia. Dia dikategorikan sebagai Imaginative dari kriteria New Thinker Lenovo.

Anda dan saya mungkin mempunyai persepsi yang berbeda. Tapi itu tidak menyurutkan niat saya untuk menawarkan kepada Anda, bagaimana kalau Mbakyu Dian kita calonkan sebagai capres. Saya lihat Mbakyu Dian bisa merangkul semua fihak. Plus, dia punya bekal imaginative yang akan sangat membantu Indonesia keluar dari krisis. Masalah pengalaman dan kemampuan, pinter-pinter tim kreatifnya lah untuk merancang ca-kabinet yang bisa menutupi kekurangan dan mempertajam kelebihan beliau.

Bagaimana? Apakah Anda setuju? Kalau Anda tetap tidak setuju mungkin saya akan menawarkan ke teman saya saja. Beliau sedang menggagas kemunculan Republik Kreatif. Dan sekarang sedang menyusun calon kabinetnya. Tapi saya belum melihat siapa calon presiden dan calon wapresnya. Kalaupun capresnya sudah ada, paling tidak saya bisa mencalonkan Mbakyu Dian sebagai cawapresnya. Seperti Mcain-Sarah Palin tho? Lha saya mau mencalonkan Mbakyu Dian sebagai menteri yang membidangi per-film-an sudah ada nama Kangmas Hanung Bramantyo. Untuk yang ini saya harap Anda sependapat dengan saya. Bagaimana?

* gambar diambil dari sini.

Selengkapnya...